Berita IAI

(Laporan Utama) “Kejar Dana Pembangunan dengan Tax Amnesty”

01 Juli 2016 - Release



Kebijakan tax amnesty bukan pengalaman perdana bagi pemerintah. Dalam rangka mencari sumber dana pembangunan berkelanjutan, kebijakan serupa pernah diluncurkan dua kali, tahun 1964 dan 1984. Kebijakan yang dielus-elus untuk meningkatkan penerimaan negara dan membangun kesadaran pajak warga negara tersebut, ternyata kandas. Partisipasi wajib pajak atas kebijakan tersebut masih minim.

Pengurus Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Pajak (IAI KAPj), Darussalam menjelaskan kegagalan negara lain dalam menerapkan pengampunan pajak disebabkan karena tidak adanya kesiapan administrasi pajak terkait dengan pengelolaan data informasi tax amnesty. Sehingga wajib pajak yang ikut tax amnesty tidak dapat diawasi perilaku kepatuhannya setelah program pengampunan pajak ini berakhir.

“Kalau peminatnya kecil, tax amnesty akan gagal. Harapannya semua wajib pajak dapat ikut berpatisipasi dalam pembangunan. Isu keadilan dan tarif yang adil tidak akan ada titik temu. Berapapun tarifnya untuk implementasi kebijakan agar peminatnya banyak,” katanya dalam diskusi bertema “Kupas Tuntas Tax Amnesty dalam Membangun Perekonomian Indonesia” di Jakarta, Selasa, awal Mei lalu.

Darussalam mengutarakan tax amnesty bertujuan untuk memutus mata rantai ketidakpatuhan wajib pajak di masa lalu untuk masuk dalam sistem adiministrasi pajak. Tujuan lainnya adalah untuk mendorong repatriasi dana orang Indonesia yang tersimpan diluar negeri dalam menggerakkan ekonomi nasional dengan basis data yang lengkap untuk pertukaran informasi perbankan.

Ia mencatat program tax amnesty telah dilakukan oleh 27 negara maju dan berkembang dengan beberapa catatan sukses dan kegagalannya. Salah satu kesuksesan pemberlakuan tax amnesty yang diterapkan di negara lain karena luasnya sosialisasi kebijakan ini untuk meningkatkan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak

India menerapkannya pada 1997, Irlandia pada 1988, dan Italia terbanyak sekitar tahun 1982, 1984, dan 2001 serta 2002. Italia termasuk negara yang sukses menerapkan program pengampunan pajak ini. Program pengampunan pajak juga diterapkan di Argentina pada 1987. Kemudian Prancis pada 1982 dan 1986 tetapi gagal.

“Sebagian negara yang gagal itu tidak mengelola manajemen informasi perpajakannya dengan baik. Karena itu perlu pasal tersendiri dalam RUU Tax Amnesty agar ada dana dari tebusan pajak itu yang bisa dimanfaatkan untuk manajemen informasi data pajak,” katanya.

Ia memberikan contoh Filipina yang fokus membenahi manajemen data dari dana repatriasi aset wajib pajak mereka. Negara ini mencantumkan satu pasal yang memuat aturan sekian persen dana tebusan pajak dimanfaatkan untuk memperbaiki manajemen data pajak mereka. Filipina meminta sekitar 400 juta peso yang nilainya mencapai Rp120 miliar untuk pembenahan manajeman data pajak mereka.

Kebijakan ini diharapkan membawa wajib pajak yang selama ini belum patuh dan obyek pajak yang selama ini belum dilaporkan masuk ke dalam sistem administrasi pajak, sebagai data bersama dengan informasi pertukaran data perbankan pada 2017 untuk dipergunakan mengawasi pola perilaku wajib pajak pasca tax amnesty.

“Pada 2017 sebanyak 55 negara berkomitmen bertukar info perbankan, 43 negara lain ikut terlibat kemudian. Artinya dengan data tax amnesty dan data informasi perbankan dapat menjadi basis kuat untuk meneliti pola perilaku wajib pajak terkait kebijakan tax amnesty,” kata Darussalam.

Jhonny Darmawan mewakili Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai pembenahan pendataan wajib pajak di Indonesia menjadi satu hal yang krusial yang harus diperbaiki saat ini. Dengan begitu potensi perbaikan pendataan pajak dapat dibenahi, sehingga pemerintah perlu menyiapkan sarana dan prasarananya.

Banyak pihak yang menyebut nilai dana kebijakan ini dapat menyumbang sekitar Rp500-2500 triliun untuk APBN. Namun bagi Jhonny angka itu terlalu optimistis. Ia memprediksi angkanya hanya akan berkisar antara Rp20-25 triliun. “Bukan perkara mudah untuk mengembalikan aset yang tersimpan di luar negeri karena tidak semua aset tersebut dalam bentuk likuid,” jelasnya.

“Mungkin properti di Singapura mayoritas pemiliknya orang Indonesia. Namun tetap akan kesulitan mengembalikannya dengan cepat karena kondisi perekonomian yang sedang lemah dan tidak ada pembeli. Banyak alasan mereka menyimpan dana di luar negeri. Kondisi ini yang yang harus diperbaiki supaya mereka dapat memasukkan dananya ke Indonesia,” kata Jhonny.

 

Kesiapan Instrumen Keuangan

Otoritas Jasa keuangan (OJK) mengaku siap mengawasi dan mempersiapkan sektor keuangan untuk menampung pengembalian dana dari wajib pajak yang tersimpan di luar negeri jika aturan tax amnesty diberlakukan. “Kami masih menunggu apapun keputusan pemerintah, banyak yang akan kami lakukan. Harapannya ada tambahan dana dapat menjadi alternatif cost untuk penguatan modal sektor jasa keuangan. Ini bisa menggerakkan sektor keuangan dan bank kecil juga mampu berkontribusi dengan sektor keuangan lain di di ASEAN,” kata Wayan Sujana dari OJK.

Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga tengah menyiapkan aturan terkait instrumen keuangan untuk menampung pengembalian dana (repatriasi) dana yang selama ini masih tersimpan diluar negeri ketika kebijakan pengampunan pajak diberlakukan. Selain menjamin perbaikan iklim investasi, juga memastikan agar ketika kebijakan tersebut diterapkan, dana-dana tersebut dapat disalurkan ke sektor prioritas melalui industri keuangan.

Dana repatriasi sebenarnya bisa ditampung di perbankan. Namun pemerintah juga akan menyiapkan instrumen lain untuk menyimpan dana-dana tersebut untuk mata uang asing supaya tidak merepotkan saat terjadi penarikan dana dari luar ke dalam negeri. “Skema melalui sektor keuangan lebih efisien dibandingkan harus disalurkan ke sektor riil,” kata Wayan.

Meski menebar angin surga gelontoran dana ratusan triliun dari kebijakan pengampunan pajak, pemerintah tentu saja tidak boleh gegabah dalam penyalurannya. Risiko yang muncul apabila dana tax amnesty masuk ke sektor keuangan justru memicu over heating bagi ekonomi Indonesia dalam jangka pendek, bahkan berpeluang menyulut krisis keuangan bila tidak ada kebijakan yang mendukung dan sistematis yang diambil pihak regulator. *ifa/AF M

(Tulisan ini telah terbit di Majalah Akuntan Indonesia Edisi April – Juni 2016)

CA, Tentukan Kesuksesanmu!